Jika kita kilas balik sedikit, kejadian pada awal tahun 2020 kemarin berhasil menghebohkan masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, yang awalnya kita semua melaksanakan kegiatan belajar mengajar di ruang kelas, saat itu seketika semua kegiatan harus dilaksanakan dari rumah masing-masing. Perubahan yang terjadi tersebut turut Saya rasakan sebagai salah satu pendidik di SMAN 2 Bengkulu Selatan. Menurut Saya, kejadian tersebut menjadi salah satu pengalaman yang cukup sulit untuk dilalui. Hal tersebut dikarenakan perbedaan kebiasaan dari hari-hari sebelumnya. Walaupun kini kegiatan pembelajaran sudah berlangsung tatap muka, nyatanya jarak antara pendidik dengan peserta didik tetap tak terhindarkan, akibat perkembangan teknologi yang ada. Di mana para pendidik tergolong masih kurang paham akan keberadaan dan manfaat teknologi yang ada, terutama teknologi pendidikan.
Kini penerapan Asesmen Nasional di Indonesia pun telah mengubah paradigma pendidikan terutama dalam proses pembelajaran. Asesmen Nasional (AN) resmi diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Ujian Nasional (UN) sudah tidak lagi diberlakukan. Perubahan ini dikarenakan hasil PISA yang membuktikan kemampuan belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah kurang memadai. Pada tahun 2018, sekitar 70% siswa memiliki kompetensi literasi membaca di bawah minimum. Sama halnya dengan keterampilan matematika dan sains, 71% siswa berada di bawah kompetensi minimum untuk matematika dan 60% peserta didik di bawah kompetensi minimum untuk keterampilan sains (Kemdikbud, 2021). Skor PISA Indonesia juga stagnan dalam 10-15 tahun terakhir. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang konsisten dengan peringkat hasil PISA terendah.
Maka proses pembelajaran saat ini hendaknya bertujuan untuk meningkatkan ketertarikan peserta didik terhadap proses pembelajaran. Sebagai pendidik fisika di SMAN 2 Bengkulu Selatan, yang notabenenya dianggap sulit oleh sebagian besar peserta didik, menurut Saya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah (1) materi diajarkan secara ekspositoris dengan metode ceramah; (2) peserta didik diminta menghafalkan semua konsep dan persamaan; (3) pendidik lebih banyak menjelaskan tentang menyelesaikan soal-soal latihan serta tidak menerapkan model dan media pembelajaran inovatif; (4) materi dalam mata pelajaran fisika kurang dikaitkan dengan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari (tidak kontekstual); (5) aktivitas pembelajaran lebih didominasi oleh pendidik sementara peserta didik hanya mendengarkan, mencatat, dan menyelesaikan UKBM; dan (6) peserta didik kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran, hasil belajar pun menjadi rendah.
Salah satu upaya yang Saya yakini dapat mengatasi kendala tersebut adalah mempertahankan kebahagiaan belajar dengan memanfaatkan teknologi Virtual Reality. Pembelajaran media Virtual Reality MilleaLab merupakan salah satu terobosan teknologi yang dapat membantu pendidikan, khususnya di Indonesia. Dampak positif penggunaan pembelajaran media VR Millealab untuk pendidikan sudah banyak diteliti. Berikut adalah beberapa keuntungan penggunaan teknologi pembelajaran Virtual Reality MilleaLab bagi proses belajar-mengajar yang turut Saya rasakan. Pertama ialah adanya peningkatan pada konsentrasi peserta didik, meningkatkan ketertarikan peserta didik untuk belajar dan menganalisa terutama objek studi atau simulasi yang abstrak, menambah penghematan untuk biaya laboratorium dan media simulasi ajar (penghematan bisa lebih dari 70%), meningkatkan koneksi antara pendidik dan peserta didik melalui teknologi, serta memudahkan melakukan simulasi HOTS.
Comments