Munculnya istilah Metaverse di tahun 2022 ini, berakibat pada perkembangan teknologi immersive yang semakin massive lagi dalam penggunaannya. Tidak lagi hanya sebatas video game saja, kini telah meluas pada area hiburan lainnya seperti konser virtual yang telah dilaksanakan oleh beberapa penyanyi papan atas dunia, seperti Justin Bieber. Bahkan sadar akan impact yang begitu besar, beberapa negara maju mulai menjelajahi teknologi Virtual Reality, sebagai salah satu elemen penting dalam Metaverse untuk menciptakan dampak yang lebih besar lagi, misalnya dalam ranah pendidikan.
Sejak tahun 2017, Pemerintah Singapore telah melihat adanya sebuah peluang dalam pemanfaatan teknologi Virtual Reality. Pada sekitar tahun 2017, Virtual Reality atau VR menjadi perbincangan hangat karena kecanggihannya dalam memvisualisasikan sesuatu yang terkesan mustahil. Sehingga teknologi VR ini sering digunakan sebagai media dalam bermain game. Karena sensasi atau pengalaman yang ditawarkan, jauh lebih maksimal jika dibandingkan dengan bermain game di monitor pada umumnya.
Menteri Komunikasi dan Informasi Singapore tahun pada tahun 2017, Dr. Yaacob Ibrahim mengatakan bahwa “Virtual and Augmented Reality technologies are expected to be used across various industries, such as retail, architecture, construction, education, healthcare, defence to improve processes, reduce costs and enhance outcomes.” Berdasarkan dengan pernyataan tersebut, Pemerintah Singapore menindaklanjuti dengan menguji kelayakan teknologi Virtual Reality itu sendiri, jika digunakan pada kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Penerapan VR di Riverside Secondary School Singapore
Melalui salah satu jurnal penelitian yang berjudul “The use of Immersive Technologies such as Virtual Reality to Deepen Learning in Singapore’s Schools” dijelaskan bahwa salah satu sekolah di Singapore, Riverside Secondary School memiliki ruangan kelas berbasis teknologi immersive, termasuk teknologi Virtual Reality. Ruangan kelas tersebut mengadopsi konsep National Technology University Singapore (NTU), yaitu VARTEL (Virtual and Augmentd Reality Technology-Enabled Learning). Di dalam ruangan kelas tersebut juga turut dilengkapi Oculus VR Headsets, dan 3D TVs sebagai monitor untuk melihat apa yang dilihat oleh pengguna VR dengan optimal. Melalui penelitian ini, ditemukan impact saat menggunakan VR sebagai media pembelajaran peserta didik di Riverside Secondary School Singapore.
Mendorong Ketertarikan dan Motivasi
“Impact of immersive technologies such as VR to enhance interest and motivation, as well as achievement in the learning of science for certain topics such as enzymes in the high-school curriculum” (Choon, Shanti, Derick, 2019). Penelitian tersebut melibatkan para peserta didik sebanyak 2 kelas, yaitu kelas 3/5 dan kelas 3/6. Penilaiannya pun melalui sebuah quiz dengan total 10 soal, sekitar setelah 2 minggu kelas 3/5 melakukan pembelajaran menggunakan VR.
Hasil dari quiz tersebut, kelas 3/5 mendapatkan rata-rata nilai 8,2 dari 10, sedangkan kelas 3/6 mendapatkan rata-rata 6,875 dari 10. Berdasarkan hasil quiz tersebut, dapat dijelaskan bahwa peserta didik yang menggunakan VR mendapatkan nilai cenderung tinggi, karena dapat membantu memvisualisasikan lebih detail, dibandingkan hanya gambar di text book. “Through the VR lesson on Enzymes has helped the students in 3/5 to visualise and understand the complex interactions between enzymes and substrates,” (Choon, Shanti, Derick, 2019).
NUS Adopsi Virtual Reality
Perguruan tinggi di Singapore pun juga turut memanfaatkan peran Virtual Reality, seperti yang terjadi di National University of Singapore (NUS), terutama pada program studi kedokteran dan keperawatan. Menurut Prof Ho dari Department Psychological and Medicine dengan Assistant Professor Shawn Goh dari NUS Nursing Department mengembangkan program Virtual Reality in Agitation Management (VRAM).
Program ini sebagai jawaban atas kejadian di lapangan yang dilihat langsung oleh mereka. Dilansir pada salah satu interview media, “We Have seen healthcare workers being verbally abused, and kicked and spat at by patients,” ujarnya. Sehingga, melalui VR para mahasiswa tersebut dapat memahami kondisi di lapangan, terutama saat menghadapi pasien yang gelisah, tanpa menyakiti.
Salah satu mahasiswa keperawatan tahun kedua di NUS, Chloe Chia, 20, “The programme allows me to be exposed to things that I cannot be exposed to while still in school. I made a lot of wrong choices on purpose to see what will happen, and to learn from it," ujarnya. Menurut Prof Goh, “The VR setting makes it a safe environment for students' learning as the wrong response options will not result in harm to anyone. Instead, they learn the appropriate action to take, which will then help them manage real-life scenarios well and avoid threatening consequences for both patients and healthcare workers.”
Comments